Posted by Chem Blog on Sabtu, 25 Februari 2012
Isu
energi merupakan salah satu isu yang menjadi perhatian yang sangat serius di
dunia saat ini. Seiring dengan semakin menipisnya cadangan minyak bumi dan gas
(migas) di seluruh dunia akibat eksploitasi terus menerus, maka dibutuhkan
pencarian sumber-sumber energi alternatif baru untuk mengatasi berkurangnya
pasokan energi dari migas di masa datang. Dalam hal ini, salah satu sumber
energi yang dapat dikembangkan untuk mengatasi krisis migas adalah energi panas
bumi.
Energi
panas bumi merupakan energi panas dari dalam bumi yang dibangkitkan oleh proses
magmatisasi lempeng-lempeng tektonik. Besarnya potensi cadangan suatu lapangan
panas bumi dapat digambarkan dengan beberapa parameter reservoir seperti temperatur,
tekanan, dan entalpi yang merepresentasikan energi termal yang terkandung di
dalam fluida reservoir tersebut. Karena itu pengetahuan mengenai distribusi
temperatur, tekanan, dan entalpi dari sistem reservoir merupakan hal yang
sangat penting.
Energi
panas bumi, adalah energi panas yang tersimpan dalam batuan di bawah permukaan
bumi dan fluida yang terkandung didalamnya. Energi panas bumi telah
dimanfaatkan untuk pembangkit listrik di Italy sejak tahun 1913 dan di New
Zealand sejak tahun 1958. Pemanfaatan energi panas bumi untuk sektor non‐listrik (direct use)
telah berlangsung di Iceland sekitar 70 tahun. Meningkatnya kebutuhan akan
energi serta meningkatnya harga minyak, khususnya pada tahun 1973 dan 1979, telah
memacu negara‐negara
lain, termasuk Amerika Serikat, untuk mengurangi ketergantungan mereka pada
minyak dengan cara memanfaatkan energi panas bumi. Saat ini energi panas bumi
telah dimanfaatkan untuk pembangkit listrik di 24 Negara, termasuk Indonesia.
Disamping itu fluida panas bumi juga dimanfaatkan untuk sektor non‐listrik di 72 negara,
antara lain untuk pemanasan ruangan, pemanasan air, pemanasan rumah kaca,
pengeringan hasil produk pertanian, pemanasan tanah, pengeringan kayu, kertas
dll.